2019 versus 2020

2020 akan segera berakhir. Seorang teman sedang menghitung hari menuju angka 300, jangka waktu dia bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Tiap-tiap angka yang dia tulis menyertakan satu cerita pada hari itu. Sewaktu hitungan hari belum sampai dua digit.

“Kan enak WFH. Punya banyak waktu, lebih efektif dan efisien, bisa kumpul bersama keluarga,” kata saya kepada teman dari divisi lain yang mulai ada jadwal WFH lebih dahulu.

“Kamu belum merasakannya ceu, satu minggu masih senang, tapi hari-hari berikutnya, duh ampun…,” katanya. Mengeluh karena jenuh.

Giliran saya WFH. Sebulan kemudian. Saya dapat berempati dengan kondisi teman saya itu pada akhirnya.

“Jadi gimana WFH? Apa kabar?”

“Rasanya kayak odading mang oleh. Telan saja, toh odading enak.”

“Hahahahaha.”

I feel you.”

Awal WFH, gejala cabin fever mungkin melanda teman-teman yang bukan kategori ‘anak rumahan’. Gejala ini perlu didiagnosis lebih lanjut oleh ahlinya (jangan diagnosis sendiri ya) agar mendapatkan penanganan yang tepat. Kesehatan mental cukup penting walaupun kerap dianggap tabu di kalangan tertentu. Pengelolaan stres harus diupayakan agar hidup lebih seimbang di tengah pandemi seperti sekarang.

Parameter bahwa saya masih ‘baik-baik saja’ adalah ritual mandi dan kualitas tidur. Jika masih teratur untuk mandi minimal sekali dalam satu hari (Indonesia berhawa tropis jadi harus rajin mandi), masih sehat jiwa dan raga. Kalau sudah malas mandi, perlu ada kewaspadaan. Ingat. Mandi pakai air ya, bukan tayamum. Istirahat pun harus cukup. Kalau saya menjadi makhluk nokturnal karena insomnia selama tiga hari berturut-turut, ini jadi tanda siaga tiga. Ketika WFH, saya dapat memperbaiki waktu tidur menjadi lebih teratur.

Sebenarnya selama WFH ini, jarak tidak menjadi pemisah untuk berinteraksi dengan orang lain, terutama teman-teman sejawat. Kami tetap berkomunikasi dan berkabar. Kabar sukacita ataupun dukacita datang berselingan.

Grup-grup WA yang sebelum pandemi sepi seperti kuburan, sekarang bak pasar malam lebih ramai kalau makin malam. Isinya beragam topik untuk menjaga kewarasan selama pandemi yang mengharuskan ‘cicing di imah’ atau #dirumahaja atau ‘stay at home’.

Jika grupnya diisi orang-orang ‘formal’, topik yang dilontarkan kadang menimbulkan perdebatan seru dan memanas. Saya hanya menjadi penyimak karena masih golongan pemelajar. “Diskusi ilmiah selalu mengedepankan rasio yang logis, bukan mengajukan argumentum ad hominem,” kata ahli bahasa yang memberikan tanggapan bijak sebagai antiklimaks dari satu diskusi serius. Saya tidak akan membahas topik diskusinya. Berat.

Ada juga grup-grup yang situasinya nonformal, arena saya serta teman-teman berbagi informasi dan kegiatan. Kami saling membagikan foto hasil masakan dari tantangan untuk mencoba menu baru, mengikuti webinar yang bermanfaat, membicarakan tanaman atau harga sayuran, me-review skinker andalan, memelihara ikan hias, membagikan kiat gaya hidup minimalis, memulai bisnis, melakukan hobi individualis yang tanpa perlu ada interaksi dengan banyak orang (yoga, jogging, jalan kaki, bersepeda, dll), mengirimkan hamper berisi makanan atau seperangkat alat untuk mencegah tertular Covid-19, mengobrol via Zoom untuk temu kangen, mengunggah foto diri dengan sepatu atau gaya rambut (rata-rata gondrong maksimal), mencoba sesuatu yang baru di luar kebiasaan, melawak, menyemangati teman yang belum lulus, dan lain-lain. Yang penting kami senang dan aktif. Seiring dengan waktu yang berlalu, masing-masing sudah mulai beradaptasi dengan keadaan.

Kalau dipikir-pikir, pagebluk ini membawa hikmah. Mengingat apa yang sudah dicapai dan dilakukan pada tahun 2020, tapi pada tahun sebelumnya, 2019, belum tercapai, masih menjadi wacana atau ide, ataupun malah belum terpikirkan. Tahun 2020 lebih produktif karena berani mencoba hal baru. Tantangan hidup tahun ini tidaklah ringan.

Nikmat-Nya ananta. Syukur atas rahmat dan kasih sayang-Nya yang penuh daya selamat agar tidak pesimistis memasuki tahun berikutnya. Tahun 2021 menjadi tahun pengharapan dan optimisme.

Salam doa dan sehat.

Leave a comment