Lengko yang tak Langka

Harum khas soto daging tercium dari jarak satu meter. Kalau lagi lapar, hidung pun menjadi lebih sensitif (Alhamdulillah masih berfungsi). Sumbernya berasal dari tenda kaki lima lengkap dengan gerobaknya. Penjualnya, seorang bapak berumur sekitar 50 tahunan tengah mengaduk-aduk isi panci dengan centong sayur pada gerobak dorong yang tertulis “Lengko”.

Kata ‘lengko’ membuat saya teringat pada makanan yang pernah saya cicipi ketika berada di Cirebon, Nasi Lengko. ‘Lengko’ artinya langka atau jarang (langko jeh).  

Tapi kok ada yang berbeda, itu kuah mirip soto buat apa? Disiram ke atas nasinya?

Sepupu saya lalu menjelaskan kalau Lengko yang satu ini merupakan makanan khas dari Tasikmalaya dan biasa menjadi menu sarapan selain kupat tahu. Saya makin penasaran dengan cita rasanya.

Sepulang dari bank, saya diajak sepupu ke restoran Lengko favoritnya. Saya memesan Lengko ayam. Biasanya Lengko ini disajikan dengan lontong atau kupat, tapi mengingat perut lagi ‘kacau’ karena terlambat dari jam makan siang, pilihan jatuh pada nasi.

Pelayan menyajikan nasi, Lengko, kerupuk dalam wadah terpisah untuk pesanan saya. Sedangkan Lengko yang dipesan sepupu terlihat tumpukan potongan nasi yang dipadatkan alias lontong atau kupat (ketupat). Wah bisa cocok buat menu Lebaran.

Isi Lengko adalah ayam kampung yang sudah digoreng lalu disuwir-suwir dan diberi campuran kuah santan seperti kari atau opor, tapi tidak terlalu kental. Rasanya agak manis, asin, dan umami. Lengko ini ditaburi irisan tipis bawang merah goreng dan kacang kedelai goreng. Sambil diaduk bisa ditambah dengan sambal dan kecap manis. Paling sedap kala diberi perasan jeruk nipis dan kerupuk.

Suasana restoran terlihat sepi dan lengang karena aturan PPKM walaupun sudah agak longgar. Pembeli hanya saya dan sepupu. Kami makan cukup lahap dan cepat karena terbiasa dikejar tenggat. Bukan karena aturan 30 menit harus kelar kalau makan di tempat juga.

Hari pun ditutup dengan keinginan makan nasi tutug oncom (NTO), tapi apa daya saya sudah melahap dua porsi bakso bihun dan meminum entah berapa gelas teh hangat tawar hingga senja tiba (biar seperti orang Inggris minum teh sore-sore). Entah kenapa… Lengko plus nasi tidak dapat meredakan gejolak di perut yang kadung kembung tidak jelas. Jadi, setiap dua jam perut harus diisi hingga perlu disetop sebelum kenyang.

Waktunya mengisi pikiran yang mungkin perlu asupan. Terlebih kalau menjelang tidur, alangkah eloknya jika diawali pertanyaan: Mengapa makanan versi Tasikmalaya ini dinamai ‘Lengko’ juga?

Duka Lagi

Kematian seorang sahabat mungkin menjadi berita yang paling menghentak pada bulan Juli ini. Sulit rasanya untuk mengungkap betapa sedihnya kami, saya dan sahabat yang lain, atas kepergiannya ke hadirat Ilahi, yang cukup mendadak pada suatu Senin menjelang senja.

Saya hampir tidak percaya dan menahan diri untuk berbagi kabar duka itu kepada sahabat yang lain sebelum ada kepastian. Namun, beberapa jam kemudian, berita kematiannya mampir di grup wa angkatan kami, yang disampaikan oleh sahabat yang kebetulan satu kota.

Beberapa waktu lalu, ketika dia sempat mengunggah kegiatan bersepedanya di media sosial, ada keinginan untuk menanyakan kabarnya selama tinggal sementara di Yogyakarta, tapi entahlah kerap tertunda dan terlupa.

“Toh nanti juga bertemu dengannya dan sahabat-sahabat lewat Zoom.” Pikir saya. Pikiran yang kerap menyiakan waktu dan kesempatan berharga, dengan berlindung di balik kata ‘nanti’.

Kiim, sahabat yang satu ini termasuk yang getol menginisiasi pertemuan untuk kami bersilaturahim dan berdiskusi. Bahkan, dia kerap meluangkan waktu untuk sekadar ‘mendengarkan’ obrolan kami, terutama yang terkait dengan kehidupan dan karier. Dia tidak sungkan pula menawarkan bantuan dan membagi ilmu kepada siapa saja. Tawaran untuk menjadi mentor sering kali dia sampaikan kepada kami jika berminat mengambil beasiswa. Padahal, kami tahu dia juga memiliki kesibukan yang bejibun.

Ternyata kiriman artikel darinya menjadi komunikasi terakhir. Dua bulan kemudian, memang ada kesempatan untuk berkumpul dengan para sahabat di Zoom. Kali ini inisiatornya lagi-lagi Kiim. Kami akhirnya dipertemukan juga, tepat di acara tujuh hari kematiannya.

Selama hampir dua jam acara doa bersama dan bertukar kenangan, kami mendapati banyak kisah inspiratif mengenai sahabat yang juga biasa kami panggil “Pak De” ini dari hadirin.

Kami sangat kehilangan sosok yang benar-benar berhati baik, tulus, dan humoris. Selamat jalan Kiim. Tenang dan bahagia di sana.

Ada hikmah dalam sebuah peristiwa. Mungkin sudah saatnya melatih kepekaan diri. Kalau ada dorongan hati untuk melakukan kebaikan, jangan ditunda-tunda. Sesimpel dengan menanyakan kabar orang-orang di sekitar. Terlebih pada masa pagebluk sekarang ini. Jadi, PPKM Level 4 sedang diberlakukan hingga tanggal 2 Agustus, piye dab? Piye kabare?

¡Nailed it! México

Ini judul acara yang menjadi salah satu tontonan favorit di Netflix. Sudah melewati musim tayang ketiga dan belum ada yang baru. Kabarnya tahun ini bakal ada syuting untuk musim selanjutnya, tapi masih simpang siur.

Acara ini bisa dibilang kompetisi bagi para amatir untuk membuat kue atau roti dan menghiasnya. Mereka diberikan tantangan untuk membuat kue seperti buatan juri dari kalangan profesional (Anna Ruiz). Bentuk kue karya Bu Anna terlalu rumit bagi para pemula. Dalam waktu tertentu yang kadang disediakan sangat terbatas, kue atau roti yang ditiru itu harus selesai sesuai tenggat. Entah bagaimana bentuknya, itu urusan belakangan. Tiap-tiap peserta sudah berusaha secara maksimal mengerahkan segala kemampuan, apalagi hadiahnya menggiurkan, seperti seperangkat alat masak-memasak biasanya diberikan saat sesi pertama kepada pemenangnya, sedangkan pada sesi kedua (final), hadiahnya berupa tropi dan uang 200.000 peso Meksiko (bukan peso dalam bahasa sunda ya).

Para peserta berpacu dengan waktu. Bisa dibayangkan kehebohan selama proses membuat kue lalu menghiasnya dengan bahan fondant. Di tengah acara, Pak Omar suka menyemangati para peserta dan menyuruh untuk berkreasi jika menemukan kendala.

Bentukan kue dari para peserta ini bisa ditebak, tidak ada yang mirip dan sering kali bikin ngakak, meleset jauh dari panduan. Kalau soal rasa, hasil karya setiap peserta bisa saja diadu. Namun, teknik pembuatan dalam menghias kue atau bolu memang harus dipelajari agar bisa semahir Ibu Anna. Malah kalau ada karya peserta yang agak menyerupai atau hampir mendekati contoh yang disajikan, bikin takjub para juri dan pemirsa.

Hasil karya yang bentuknya beragam saking uniknya diapresiasi sebagai sebuah karya artistik karena ada usaha dan kreativitas yang ditunjukkan para peserta. Acara ini seperti kata-kata Dora, “berhasil…berhasil…hore!” setiap selesai atau sukses menyelesaikan misi.

Tiga jurinya lucu-lucu dan suasananya terasa rileks walaupun ada ‘keriweuhan’ di meja para peserta, apalagi kalau jurinya sudah menyebutkan waktu yang tersisa. Dalam memberikan komentar, tidak ada juri yang seperti Gordon Ramsay (ngeriiii… kalau dia jadi jurinya).

Mereka juga memaklumi karena para peserta adalah orang-orang yang punya hobi bikin kue sambil bereksperimen di rumah. Senang bikin kue, tapi hasilnya sering tidak sesuai ekspektasi padahal sudah mengikuti resep.

Sebenarnya, acara ini punya versinya di beberapa negara. Tapi, lebih suka yang versi Meksiko karena banyak informasi dan pengetahuan yang tergali. Pernah satu jurinya tiba-tiba membahas sejarah coklat bahwa coklat atau ‘chocolate’ itu berasal dari kata ‘xocoatl’. Unsur-unsur tradisi Meksiko terungkap di acara ini, misalkan piñata dan la catrina. Teringat film “Coco” atau “The Book of Life”. Bahasa Spanyolnya juga tidak terlalu ‘cepat’ dalam penyampaiannya kalau dibandingkan bahasa Spanyol yang Eropa.

Tips dari mi amiga asal Amerika latin. Kalau mau meningkatkan kemampuan bahasa Spanyol untuk pemula, pilih bahasa Spanyol yang digunakan di Meksiko, Kolombia, atau Peru. Siapa tahu suatu hari nanti bisa menikmati karya milik Gabo atau menonton “Money Heist” dalam bahasa aslinya. Sekalian menyaksikan pertandingan langsung Barça di Camp Nou kelak (kalau punya mimpi jangan nanggung).

Chau

2019 versus 2020

2020 akan segera berakhir. Seorang teman sedang menghitung hari menuju angka 300, jangka waktu dia bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Tiap-tiap angka yang dia tulis menyertakan satu cerita pada hari itu. Sewaktu hitungan hari belum sampai dua digit.

“Kan enak WFH. Punya banyak waktu, lebih efektif dan efisien, bisa kumpul bersama keluarga,” kata saya kepada teman dari divisi lain yang mulai ada jadwal WFH lebih dahulu.

“Kamu belum merasakannya ceu, satu minggu masih senang, tapi hari-hari berikutnya, duh ampun…,” katanya. Mengeluh karena jenuh.

Giliran saya WFH. Sebulan kemudian. Saya dapat berempati dengan kondisi teman saya itu pada akhirnya.

“Jadi gimana WFH? Apa kabar?”

“Rasanya kayak odading mang oleh. Telan saja, toh odading enak.”

“Hahahahaha.”

I feel you.”

Awal WFH, gejala cabin fever mungkin melanda teman-teman yang bukan kategori ‘anak rumahan’. Gejala ini perlu didiagnosis lebih lanjut oleh ahlinya (jangan diagnosis sendiri ya) agar mendapatkan penanganan yang tepat. Kesehatan mental cukup penting walaupun kerap dianggap tabu di kalangan tertentu. Pengelolaan stres harus diupayakan agar hidup lebih seimbang di tengah pandemi seperti sekarang.

Parameter bahwa saya masih ‘baik-baik saja’ adalah ritual mandi dan kualitas tidur. Jika masih teratur untuk mandi minimal sekali dalam satu hari (Indonesia berhawa tropis jadi harus rajin mandi), masih sehat jiwa dan raga. Kalau sudah malas mandi, perlu ada kewaspadaan. Ingat. Mandi pakai air ya, bukan tayamum. Istirahat pun harus cukup. Kalau saya menjadi makhluk nokturnal karena insomnia selama tiga hari berturut-turut, ini jadi tanda siaga tiga. Ketika WFH, saya dapat memperbaiki waktu tidur menjadi lebih teratur.

Sebenarnya selama WFH ini, jarak tidak menjadi pemisah untuk berinteraksi dengan orang lain, terutama teman-teman sejawat. Kami tetap berkomunikasi dan berkabar. Kabar sukacita ataupun dukacita datang berselingan.

Grup-grup WA yang sebelum pandemi sepi seperti kuburan, sekarang bak pasar malam lebih ramai kalau makin malam. Isinya beragam topik untuk menjaga kewarasan selama pandemi yang mengharuskan ‘cicing di imah’ atau #dirumahaja atau ‘stay at home’.

Jika grupnya diisi orang-orang ‘formal’, topik yang dilontarkan kadang menimbulkan perdebatan seru dan memanas. Saya hanya menjadi penyimak karena masih golongan pemelajar. “Diskusi ilmiah selalu mengedepankan rasio yang logis, bukan mengajukan argumentum ad hominem,” kata ahli bahasa yang memberikan tanggapan bijak sebagai antiklimaks dari satu diskusi serius. Saya tidak akan membahas topik diskusinya. Berat.

Ada juga grup-grup yang situasinya nonformal, arena saya serta teman-teman berbagi informasi dan kegiatan. Kami saling membagikan foto hasil masakan dari tantangan untuk mencoba menu baru, mengikuti webinar yang bermanfaat, membicarakan tanaman atau harga sayuran, me-review skinker andalan, memelihara ikan hias, membagikan kiat gaya hidup minimalis, memulai bisnis, melakukan hobi individualis yang tanpa perlu ada interaksi dengan banyak orang (yoga, jogging, jalan kaki, bersepeda, dll), mengirimkan hamper berisi makanan atau seperangkat alat untuk mencegah tertular Covid-19, mengobrol via Zoom untuk temu kangen, mengunggah foto diri dengan sepatu atau gaya rambut (rata-rata gondrong maksimal), mencoba sesuatu yang baru di luar kebiasaan, melawak, menyemangati teman yang belum lulus, dan lain-lain. Yang penting kami senang dan aktif. Seiring dengan waktu yang berlalu, masing-masing sudah mulai beradaptasi dengan keadaan.

Kalau dipikir-pikir, pagebluk ini membawa hikmah. Mengingat apa yang sudah dicapai dan dilakukan pada tahun 2020, tapi pada tahun sebelumnya, 2019, belum tercapai, masih menjadi wacana atau ide, ataupun malah belum terpikirkan. Tahun 2020 lebih produktif karena berani mencoba hal baru. Tantangan hidup tahun ini tidaklah ringan.

Nikmat-Nya ananta. Syukur atas rahmat dan kasih sayang-Nya yang penuh daya selamat agar tidak pesimistis memasuki tahun berikutnya. Tahun 2021 menjadi tahun pengharapan dan optimisme.

Salam doa dan sehat.

Realistis

Suatu hari menuju stasiun kereta. Sayup-sayup Frank Sinatra menyanyikan salah satu lagu hits miliknya. Saya tersenyum sendiri saat mendengarkannya.

Tumben pihak stasiun menyetel musik yang menaikkan mood saya pagi itu.

Semakin dekat, saya tersadar kalau suara Om Frank yang indah itu berasal dari earphone yang belum sempat dimatikan. Saya lihat playlist HP. Tepuk jidat.

If it’s too good to be true then it isn’t true.

10cm

Muncul notifikasi, 10CM lagi ‘live chat’!

tangkapan layar dari Youtube

Buru-buru saya membuka aplikasi YT. Wah jarang-jarang ini bisa pas waktunya. Untungnya saya baru saja menyelesaikan pekerjaan jadi bisa menonton siaran langsungnya.

Kwon Jung Yeol dari 10CM. Suka lagu-lagunya dari zaman featuring Leesang. Irama lagu-lagunya riang, tapi isi liriknya kadang berisi kesedihan. Ironis memang. Suaranya bagus. Musisi Korea favorit selain Epik High, Leessang, Akmu, Zico, Kwon Jiyong, Jackson GOT7, Jinsil Mad Soul Child, dan Urban Zakapa.

Bahagia itu sederhana ternyata.

Cuma nonton siaran langsung penyanyi favorit dari YT pribadinya. Berasa konser spesial karena menontonnya di kamar sendirian pula (walaupun yang menonton siaran dia banyak, tapi beda tempat dan waktu). Padahal, dia siaran langsung sekitar jam 11-an malam waktu Korea. Jadi ingat lagunya yang berjudul “Phonecert”.

이건 세상에서
제일 비싼 단독 공연
가수는 나고 관객은 너 하나
화려한 막이
이제 곧 올라가기 전에
그저 몇 가지만 주의해줘요

Tadi malam itu, dia sempat memainkan gitar sambil menyanyikan lagu. Dia juga membacakan pertanyaan. Keinginan belajar bahasa Korea lagi makin menanjak biar mengerti dia ngomong apa. Hanya sedikit kata-kata dia yang bisa saya tahu. Sedih… Bahasa Korea saya sudah “kelelep”. Semoga bisa menonton konser 10CM langsung di mana saja. Seru kayaknya kalau bisa menyanyi bersama dengan para penggemar yang lain. Semoga.

Kalau dilihat-lihat, mukanya vokalis 10CM ini mirip Dikta (Yovie & Nuno) versi Korea, iya gak sih?

Sunda Logat Korea

“Ceuk aing ge!” Kata-kata ini berulang-ulang diucapkan seorang pria dalam satu video parodi. Isi videonya mengungkapkan pesan protokol kesehatan pada masa pandemi dalam bahasa Sunda campur-campur yang dilogatkan dengan bahasa Korea. Campuran ada bahasa Sunda yang halus dan kasar.

Jika didengarkan sekilas bahasa Sunda agak pas dengan logat bahasa Korea. Bukan penutur bahasa Sunda bakal mengira bahasa yang digunakan dalam parodi itu bahasa Korea, padahal bukan. Memang agak mirip sedikit bahasa Sunda dengan bahasa Korea, terutama kumpulan huruf. Salah satu pengguna medsos bahkan mengungkapkan kemiripan itu lewat salah satu promosi produk.

Saya akan menjelaskan sedikit mengenai bahasa Sunda atau basa Sunda. Bahasa Sunda adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Sunda. Suku bangsa ini biasanya mendiami daerah Jawa Barat dan Banten (Pulau Jawa) meskipun sekarang masyarakat suku ini sudah banyak yang tinggal di mana saja di belahan dunia. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain.

Kembali lagi ke soal kemiripan bahasa. Mungkin bahasa daerah lain di Indonesia, ada juga yang memiliki kemiripan dengan bahasa Korea, misalkan bahasa Aceh atau bahasa Bali.

Oke, kita bikin senarainya untuk bahasa Sunda. Persamaan bahasa Korea dan bahasa (basa) Sunda secara umum, antara lain:

  • Mempunyai aksara sendiri selain aksara latin. Kalau bahasa Korea punya hangeul, bahasa Sunda juga ada nih penjelasannya di wikipedia. Aksara Sunda banyak dibahas di portal Kairaga. Bahkan, ada juga universitas yang membuat laman penerjemahan daring aksara Sunda-aksara latin.
  • Ada huruf vokal ‘eu’ atau 으 yang dilafalkan sama. Contoh kata bahasa Sunda, ‘beureum’ (merah). Sedangkan dalam bahasa Korea ada 아름답다 yang dilafalkan ‘areumdapda’ (cantik).
  • Huruf F dan V dilafalkan seperti huruf P. Misalkan kalau bahasa Korea, kata cafe disebut 카페 atau ‘kape’. Penutur Sunda yang medok logat Sundanya, dapat mengucapkan kata cafe atau kafe itu dengan ‘kape’ dalam percakapan. Secara umum, penutur bahasa Sunda banyak melafalkan fonem P untuk kata apa saja yang ada huruf F dan V. Nah ini yang sering jadi bahan bercandaan oleh teman saya kepada orang yang non-Sunda. “Kata siapa orang Sunda tidak bisa menyebut huruf F, itu pitnah.” Omong-omong soal huruf P dan F ini, seorang teman yang bekerja di media massa terkenal di Jawa Barat pernah protes. Medianya konsisten menggunakan kata ‘telefon’, sedangkan KBBI V (Badan Bahasa) membakukan kata ‘telepon’. Kalau dalam bahasa Belanda, alat komunikasi temuan Antonio Meucci ataupun Graham Bell itu disebut ‘telefoon’, sedangkan dalam bahasa Inggris ‘telephone’. Bahasa Indonesia kemungkinan besar menyerapnya dari bahasa Inggris.

F MENJADI F

Contoh : fanatic > fanatik

PH MENJADI F

Contoh : phase > fase

Kata ‘telephone’ jika diserap sesuai dengan formula yang ada pada kaidah PUEBI di atas, seharusnya ‘telefon’ dan bukan ‘telepon’. Jadi, mengapa yang baku malah telepon dan bukan telefon? Bisa jadi karena sifat bahasa yang manasuka juga dinamis dan kebijakan dari Badan Bahasa dalam mengambil kata atau istilah yang beredar di masyarakat.

  • Ada undak usuk, istilah linguistik yang berarti sistem ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara, terjadi dari bahasa cakap, bahasa kasar, bahasa menengah, bahasa sedang, bahasa luwes. Bahasa Sunda memiliki undak usuk yang lebih kompleks karena memiliki enam tingkatan, baik halus maupun kasar. Penggunaannya juga ditujukan tidak hanya kepada manusia (tua, muda, seumuran), tetapi juga kepada hewan, untuk satu kata yang memiliki arti yang sama. Contoh, kata ‘makan’. Dalam bahasa Sunda, ada kata ‘tuang’, ‘neda’, ‘dahar’, ’emam’, ‘lebok’, dan ‘nyatu’. Kalau salah dalam pengucapan, apalagi kepada orang yang lebih tua atau dihormati, dapat dianggap tidak memiliki sopan santun.
  • Ada irama khas dalam mengungkapkan kata-kata.
  • Contoh kata dari dua bahasa itu yang memiliki makna sama. Kata ‘kang’ adalah sebuah nama. Di dalam bahasa Sunda, ‘kang’ itu merupakan sebuah nama panggilan kepada laki-laki dewasa dan singkatan dari ‘akang’. Kalau di Korea, ‘Kang’ menjadi nama marga, misal Kang Daniel.
  • Ada tambahan lagi?

Penutur bahasa Sunda memiliki kedekatan dalam persoalan bahasa dengan bahasa Korea sehingga membentuk slang. Apalagi, bahasa itu juga menyangkut nilai rasa dan memiliki sifat arbitrer. Dalam keseharian, para penutur bahasa Sunda membuat slang, misalkan “jaman jigeum”, “eleuh daebak”, “daramang chingu?”, dll.

TanyaTa

Jam tangannya menunjukkan pukul 11.46 WIB. Itu artinya, dia sudah terlambat hampir setengah jam lebih atau mungkin terlambat 16 menit. Rencana matangnya hari ini untuk menggali informasi penting bisa gagal, tapi dia tak akan menyerah.

Tiba di depan ruangan, dia intip dari pintu kaca, semua orang tengah menyimak presentasi. Kelas penuh. Satu bangku kosong hanya ada di barisan depan. Matanya bertabrakan dengan mata yang tidak asing, yang kemudian memberi isyarat untuk segera masuk. Dia membuka pintu sambil mengetuk lalu meminta izin, sang profesor mengangguk, tanda mempersilakan.

Mahasiswa yang datang terakhir ini dengan percaya diri tinggi duduk di sebelah salah satu pengajar, pemilik mata yang hanya bisa menggeleng sambil tersenyum seolah hilang kata-kata.

Dia menaruh alat tulis dan mulai memperhatikan sekitar. Ruangan yang ia masuki telah berubah. Deret kalimat motivasi tertempel dengan harapan sekadar dibaca, syukur-syukur dipahami. Bau cat masuk dari lubang hidung kanan dan wangi apel dari lubang hidung kiri, bergantian. Keduanya beradu kemudian bau cat menjadi pemenangnya, mengalahkan wangi apel yang tergantung pasrah di pendingin udara.

Semua sekelilingnya tampak serbabaru kecuali meja dan papan tulis.

Dia lirik ke belakang, mencari beberapa sosok yang tak asing, ternyata jarak kami antara ujung ke ujung. Tempat dia duduk berada paling depan, sedangkan teman-temannya yang berbeda jurusan dengannya pasti berebutan untuk duduk di jajaran kursi paling belakang. Sudah dia duga beberapa pesan masuk setelah teman-temannya itu melihat wajahnya yang tersenyum bak joker. Isinya sama. Hanya kalimat retoris.

Aksi menyusup ini bukan yang pertama. Percayalah.

Presentasi profesor yang satu ini tetap menarik karena sering diselingi humor yang kadang tidak dapat ditebak waktu kemunculannya. Materinya sarat makna. Profesor itu gemar menyederhanakan teori yang rumit menjadi sederhana dan simpel. Sering kali membantu dalam mengurai benang kusut di kepala mahasiswanya. Namun, bukan itu tujuannya dia ikut kelas sang profesor. Saat yang ditunggu-tunggu telah datang, sesi tanya jawab.

Jika di kelas lain, sepi oleh penanya. Kali ini berbeda, banyak mahasiswa yang mengangkat tangan tinggi-tinggi dan supercepat agar pertanyaannya terpilih.

Tidak sia-sia duduk di depan karena mudah diperhatikan. Dia mendapat kesempatan terakhir untuk bertanya kepada mahaguru.

Tiba giliran. Pertanyaan yang diajukan itu keluar dari jalur mata kuliah yang sedang ia bahas. Profesor lalu tersenyum karena baru kali ini ada mahasiswa yang menanyakan tokoh penyair favoritnya.

Profesor mulai mengajak para penghuni ruangan kembali ke ruang masa lalu. Beberapa pertanyaan dia ajukan untuk memancing pengetahuan. Komentar para mahasiswa saling bersahutan. Profesor memperkenalkan dari mulai aliran japonisme, Van Gogh, kisah pahit pelukis Belanda itu, dan novel biografisnya, hingga membuat penanya resah karena tidak sabar dengan jawaban apa yang akan ia terima.

Wislawa Szymborska. Profesor membocorkan nama tokoh tersebut di papan tulis, termasuk salah satu karya penyair yang berjudul “The People on The Bridge”.

Terima kasih. Satu tanda tanya itu telah sirna di alam pikiran si mahasiswa yang kini hanya bisa mengenang peristiwa tersebut. Alfatihah.

Inilah isi dari karya penyair perempuan yang terinspirasi dari sebuah lukisan Jepang. Puisi ini diterjemahkan dari bahasa polandia oleh Stanislaw Baranczak dan Clare Cavanagh.

An odd planet, and those on it are odd, too.
They’re subject to time, but they won’t admit it.
They have their own ways of expressing protest.
They make up little pictures, like for instance this:

At first glance, nothing special.
What you see is water.
And one of its banks.
And a little boat sailing strenuously upstream.
And a bridge over the water, and people on the bridge.
It appears that the people are picking up their pace
because of the rain just beginning to lash down
from a dark cloud.

The thing is, nothing else happens.
The cloud doesn’t change its color or its shape.
The rain doesn’t increase or subside.
The boat sails on without moving.
The people on the bridge are running now
exactly where they ran before.

It’s difficult at this point to keep from commenting.
This picture is by no means innocent.
Time has been stopped here.
Its laws are no longer consulted.
It has been relieved of its influence over the course of events.
It has been ignored and insulted.

On account of a rebel,
one Hiroshige Utagawa
(a being who, by the way,
died long ago and in due course),
time has tripped and fallen down.

It might well be simply a trifling prank,
an antic on the scale of just a couple of galaxies,
let us, however, just in case,
add one final comment for the record:

For generations, it’s been considered good form here
to think highly of this picture,
to be entranced and moved.

There are those for whom even this is not enough.
They go so far as to hear the rain’s spatter,
to feel the cold drops on their necks and backs,
they look at the bridge and the people on it
as if they saw themselves there,
running the same never-to-be-finished race
through the same endless, ever-to-be-covered distance,
and they have the nerve to believe
that this is really so.

Puisi ini dikutip dari laman ini. Terima kasih untuk yang mengunggahnya.

TanEMAN

Opo ora eman duite….” sebaris penggalan lagu dangdut koplo ini dilantunkan sahabat dengan suara cemprengnya. Saat itu dia sempat terperangah ketika saya tunjukkan foto satu tanaman yang harganya setara produk ‘skinkeran’ miliknya, bahkan cenderung lebih mahal. Maklumi saja jika dia tak akan pernah mengerti soal dunia flora yang di Bandung ini sedang melonjak harganya sejak Juli lalu.

Daerah Cihideung, Bandung Barat, menjadi sentra tanaman “sultan” bagi para penyuka tumbuh-tumbuhan dari banyak daerah. Tengok saja jika akhir pekan tiba, kendaraan berpelat nomor selain “D” juga banyak yang hilir mudik di sepanjang daerah berhawa sejuk ini. Bandung sedang mengalami musim penghujan yang memengaruhi temperatur suhu jadi lumayan dingin.

Berawal dari sebuah gambar. Foto tanaman berdaun hijau lebar yang mencolok mata karena keindahannya itu berasal dari teman saya yang kebetulan memamerkannya di WA story.

“Ini mirip kuping gajah?” kata saya saat mengomentari unggahannya tersebut.

“Hahahaha… emang mirip sih ceu,” katanya. Ternyata tanaman yang saya maksud bukan berjenis anthurium. Obrolan pun mengalir soal tanaman, bisnis tanaman hias, tanaman yang lagi jadi tren, nama-nama latin tanaman, cara berburu tanaman hingga pelosok, dan bisa panjang ceritanya kalau topiknya soal yang satu ini.

Teman saya ini sejak pandemi memiliki bisnis baru, yakni menjual aneka tanaman di rumahnya. Sebelumnya, ia sempat berbisnis ikan koi dan berhenti karena air bah tahunan pernah menerjang Ibu Kota, termasuk kompleks perumahannya. Banjir inilah yang membebaskan puluhan ikan koi miliknya.

Memelihara tanaman menjadi hobi baru selama pandemi di kalangan teman-teman. Hobi ini tak lagi dipandang sebelah mata karena sebenarnya memelihara tanaman termasuk hobi yang menyehatkan buat pikiran, tapi tidak buat dompet. Hahahaha…. Eman juga sih kalau harganya tidak lagi wajar. Lebih baik barter.

Ya, harga tanaman melesat bagai kilat di toko daring ataupun toko luring. Beberapa jenis tanaman, antara lain monstera, anthurium, dan aglonema, banyak dicari masyarakat yang tertarik mengoleksi, menjualnya lagi, atau sekadar mempercantik ruangan agar tampak estetis. Bahkan, jenis keladi yang sering ditemukan di pinggir selokan kecil dan nyempil di antara tumbuhan liar menjadi buruan.

Video-video pendek mengenai aksi berburu tanaman berseliweran di media sosial dan pesan WA. Isinya beragam dari mulai yang kocak hingga yang miris. Ada video, ibu-ibu yang mendadak turun dari mobil untuk mencabut tanaman liar untuk dibawa pulang. Ada juga video seorang perempuan muda yang menginjak-injak tanaman-tanaman liar yang lagi “naik kelas”. Dia mungkin kesal dengan fenomena harga tanaman itu yang di pasaran jadi berkali-lipat. Alhasil, perempuan itu dihujat para pecinta tanaman yang menyayangkan tindakannya.

Tetangga saya pernah membagikan video yang memperlihatkan seorang pria bermotor yang diam-diam mencuri satu pot tanaman di salah satu perumahan yang tidak diketahui lokasinya. Video ini disebarkan untuk meningkatkan kewaspadaan bahwa lingkungan kompleks pun tidak lagi aman dari aksi pencurian, apalagi semenjak tanaman anggrek tetangga ikut hilang.

Rencana pemasangan CCTV bakal menjadi mutlak digolkan dalam rapat tingkat RT kalau begini. Saya jadi teringat foto-foto kocak para bapak di medsos. Mereka melaksanakan kegiatan ronda ‘cukup di rumah’ karena di halamannya, ada koleksi tanaman milik ibu permaisuri atau ratu. Pemandangan itu bisa saja terjadi di kompleks saya, sebagai upaya untuk meningkatkan kewaspadaan.

Saya pernah lihat di media sosial juga, satu video seorang anak yang iseng menguji coba untuk membuat ibunya naik darah. Yang dia lakukan adalah dia sedang mengoprek tanaman di pot dari taperwer. Ibunya muncul lalu melihat aksi anaknya. Kejadian berikutnya dapat ditebak, ibunya langsung berteriak sambil mengejar sang anak karena kelakuannya yang sudah pasti auto-dijewer kalau tertangkap. Yakinlah kalau tanaman kini sama berharganya dengan taperwer.

Ada orang yang dikaruniai Tuhan memiliki tangan ajaib, bukan Midas. Jadi tumbuhan atau biji yang orang itu tanam atau hanya lempar ke tanah, pasti bakal tumbuh dan berkembang. Patut disyukuri bagi mereka yang punya tangan telaten seperti itu.

Apalagi, kalau tanamannya diajak ngobrol asyik, mungkin dia bisa tumbuh subur. Tanaman termasuk makhluk hidup juga. “Tanaman layaknya teman,” kata seseorang yang saya kenal dan memelihara tanaman anggrek.

Di keluarga, hanya ibu saya yang memang memiliki hobi memelihara tanaman karena punya tangan model ‘sekali tanam selalu tumbuh’. Jauh sebelum ada pandemi, beliau sudah mengoleksi beberapa tanaman, tapi sempat vakum karena ada prioritas lain. Pot-pot berisi kembang dan tanaman hijau itu dititipkan di tetangga atau ditaruh di lahan kecil dekat luar pagar dan tetap dirawat. Namun, menurut pengakuan beliau, ada tangan-tangan jahil yang mengambil pot yang ada di luar pagar, tinggal beberapa pot tanaman yang ukurannya agak besar yang tersisa.

Daerah kami sempat termasuk zona kuning. Sejak ada satu keluarga yang positif kena korona (tapi kini mereka sudah sembuh), ada perubahan di lingkungan sekitar. Suasana menjadi agak sepi karena orang-orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah masing-masing. Kalaupun ada yang keluar rumah, ya pastikan tetap menjaga protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak) sesuai anjuran pemerintah demi keselamatan bersama.

Berhubung saya ingin membahagiakan ibu saya agar tidak jenuh, jadi beberapa hari lalu, saya memesan beberapa tanaman, pupuk, pot, dan karung berisi tanah yang sudah dicampur pupuk kandang. Kalau ibu saya lebih menyukai tanaman yang berwarna, sedangkan saya memilih tanaman yang berkhasiat dan bernilai.

Si Mint yang belum dipindahkan ke pot

Saya membeli tanaman kelor, tanaman mint, dan anthurium magnificum (kuping gajah). Ibu saya hampir heran dengan selera saya ini karena tanaman kuping gajah itu dicap sebagai ‘tanaman jadul’, lalu si kelor membuat ibu saya takut karena terpengaruh mitos, ada-ada saja….

Justru sesampainya di rumah, si kelor, si mint, dan si kuping gajah banyak ditanggapi positif oleh tetangga. Tanaman pilihan beliau gak ada yang dikomentari, cuma dilirik biasa.

Alasan pemilihan adalah si kelor dan si mint berkhasiat karena daunnya, sedangkan si kuping gajah ini bermakna sejarah (bagi saya).

Sewaktu saya kecil, alm nenek memelihara banyak tanaman kuping gajah di halaman rumahnya yang rapi jali. Daun si kuping gajah ini lebar dan besar yang mungkin dipelihara selama bertahun-tahun. Para cucu dilarang keras berada dekat-dekat di sekitar pot-pot besar tempat si daun kuping gajah dkk berkumpul, apalagi bermain di area tersebut, mimpi!

Saya hanya bisa mengamati ritual beliau kalau sedang berada di halaman. “Halig… ka ditu. Bisi kebul,” katanya kepada saya yang hanya bisa bengong karena belum bisa mencerna kata-kata bahasa Sunda. Setelah ada bahasa isyarat pakai gerakan tangan dari beliau, saya baru paham. Intinya, beliau menyuruh saya masuk rumah.

Saya menjadi berpikir kalau tanaman kuping gajah seeksklusif itu. Si kuping gajah selalu dirawat hingga daun-daunnya selalu mengilap karena sering dilap oleh alm nenek. Gerombolan si kuping gajah milik nenek kini tinggal kenangan yang masih membekas. Sampai sekarang, saya belum menemukan koleksi tanaman kuping gajah seperti yang alm nenek miliki.

Kalau suatu hari nanti, saya punya lahan yang agak luas (aamiin yang kencang), minimal dua kali lapangan futsal akan diisi tanaman atau pohon berikut ini.

  • Aneka jenis tanaman kuping gajah
  • Pandan
  • Sereh
  • Pohon pisang (dulu saya pernah punya pohon pisang, pohon mangga, dan pohon jambu depan rumah, tapi sudah ditebang. Pohon-pohon itu ditebang karena daun-daunnya sudah mengganggu halaman tetangga. Sedih juga).
  • Tanaman bayam
  • Pohon mangga ‘lali jiwo’
  • Pohon nangka
  • Pohon alpukat
  • Sirih
  • Pohon jambu batu
  • Pohon delima
  • Pohon tin
  • Pohon kelapa
  • Pohon tomat
  • Tanaman kopi
  • Pohon rambutan
  • Pohon melinjo
  • Kentang
  • kacang merah (saya pernah memanen kacang merah di rumah saudara)
  • pohon buah jeruk nipis (lumayan daunnya buat bumbu dapur, tinggal petik)
  • dll.

Kopi Pengubah Hati

hanya secuil kisah masa lampau

Ketika sedang mengisi bulatan-bulatan kecil dengan pilihan satu hingga enam, ada rasa dendam yang membuat diri seseorang menjadi agak kejam akibat situasi hati tak karuan. Objektivitas berkurang. Dia mulai mengingat kembali peristiwa yang tidak mengenakkan. Ugh…

“Sis, bikin kopi yuk!” Suara seorang teman menghentikan pikiran buruk yang tengah mengamuk.

“Yuk!” Dia refleks menjawab sambil tersenyum menatap temannya yang berdiri di samping meja kerjanya.

“Tunggu ya, aku mau beli krim kental manis dulu.”

“Oke. Silakan.”

Perhatian dia sejenak lalu teralihkan oleh isi pesan yang masuk di HP. Seorang sahabat yang tengah kesal karena harus mengulang tugas dari awal.

Mungkin harus ada pertemuan untuk mendengarkan keluh-kesah sahabatnya. Duduk, makan es krim, sambil tatap danau. Pikirannya membayangkan suatu tempat dengan desiran angin sepoi-sepoi dan pohon-pohon teduh. Dia dan sahabatnya biasa mengobrol dan menertawai hidup jika mendadak suntuk dengan semua tugas kuliah.

Tak lama…

Teman kerjanya sudah kembali sambil membawa alat penyaring kopi, sebungkus kopi campuran bunga sakura kering, krim kental manis, dan segelas mug.

Dia ikuti temannya ke dapur. Ritual membuat kopi ala temannya pun dimulai. Dia tidak akan memberi tahu caranya kepada kita, para pembaca, karena tidak ada yang istimewa, kecuali…

“Ini kopinya sudah kedaluwarsa. Masih bisa dikonsumsi sih walaupun tidak lagi segar dan rasanya mungkin berubah,” kata temannya sambil tergelak.

Dia langsung melihat kemasan di bungkus kopi, tanggal 20 Juni 2018. Sudah lewat lima hari. Tidak apa-apa. Dia tetap akan mencicipinya. Dia sodorkan gelas untuk diisi krim seraya menunggu kopi di teko bercampur dengan air panas. Temannya menambahkan air dingin sehingga kopi untuknya pun tersaji hangat.

Keduanya lalu kembali ke meja masing-masing sambil membawa kopi racikan. Wangi kopi membelai hidungnya. Dalam tiga kali tegukan, kopi itu ia habiskan. Rasanya minim sifat manis, agak pahit, tanpa ada asam, tapi dia suka.

Dia paksakan lagi menatap layar laptop untuk melanjutkan gim mengeklik lingkaran. Kali ini dia tampaknya berhasil menyetop segala kekesalan.

Gim itu dia sudahi dalam tempo singkat. Hasilnya membuat dia bersyukur karena usaha dia dan temannya beberapa waktu lalu terbayar sepadan. Sepertinya harus dirayakan.

Dia bergegas ke ruangan temannya yang suhunya paling dingin di kantor. Keduanya mengobrol sebentar sambil terdengar suara tawa ringan. Sebelum meninggalkan ruangan, dia menghaturkan terima kasih karena suasana hatinya sudah terdamaikan kepahitan.